Raja Belanda menyampaikan permintaan maaf kepada Indonesia

- 2 Juli 2023, 20:09 WIB
Raja Belanda Willem Alexander
Raja Belanda Willem Alexander /Reuters/ Peter Dejong

WartaBulukumba - Lembaran sejarah penjajahan oleh sepatu kolonialisme Belanda di Bumi Nusantara punya episode panjang.

Di sebuah upacara yang penuh makna dan mengharukan, Raja Willem Alexander dari Belanda menghamparkan permintaan maaf secara resmi atas peran negaranya dalam sejarah perbudakan yang gelap.

Melansir Reuters pada Sabtu, 1 Juli 2023, dalam peringatan yang menghormati 160 tahun penghapusan perbudakan secara legal di Belanda, termasuk di bekas jajahannya di Karibia, sang raja dengan rendah hati meminta maaf atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini.

Baca Juga: Melacak sejarah Hari UFO Sedunia 2 Juli: Fenomena misterius di langit Washington DC yang menggemparkan

"Pada hari ini saat kita mengenang sejarah perbudakan Belanda, saya memohon maaf atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini," kata Raja Willem-Alexander, suara gemetar namun penuh ketegasan, mengguncang hati para hadirin yang membanjiri Oosterpark Amsterdam.

Pengakuan raja ini adalah langkah berani yang menandai keinginan Belanda untuk berdamai dengan masa lalu yang kelam. Dalam pidato yang dipersembahkan dengan penuh rasa hormat dan ketulusan, sang raja tidak menyembunyikan kepedihan yang disebabkan oleh perbudakan tersebut dan mengakui bahwa dampaknya masih terasa hingga saat ini. Dia berjanji untuk melawan rasisme yang masih menjadi masalah dalam masyarakat Belanda.

Raja Willem Alexander tidak mengesampingkan bahwa tidak semua orang bersedia menerima permintaan maafnya. Ia menyadari bahwa sejarah yang tercabik-cabik ini telah membangun dinding pemisah di antara mereka.

Baca Juga: Pemerhati UFO sedunia memperingati World UFO Day tanggal 2 Juli

Keti Koti, kata yang merayakan pemutusan rantai dalam bahasa Suriname, memberikan nama bagi hari peringatan perbudakan dan perayaan kebebasan yang diperingati setiap 1 Juli di Belanda.

Dalam momentum yang sarat makna ini, ratusan ribu penonton berhimpun di monumen perbudakan nasional di Oosterpark Amsterdam, memberikan dukungan dan menghargai keberanian sang raja.

Permohonan maaf ini memicu diskusi yang mendalam tentang bagaimana negara-negara dapat berdamai dengan sejarah mereka yang kelam dan melangkah maju dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif. Tindakan raja ini dianggap sebagai titik balik penting dalam proses tersebut, memperkuat komitmen Belanda untuk menghadapi masa lalu dan menciptakan masa depan yang lebih adil dan setara.

Baca Juga: Pembakaran Al Quran, pemerintah Swedia dianggap melakukan pembiaran

Renungan atas Masa Lalu yang Gelap

Tak hanya kepada Indonesia, pada tahun 2020, Raja Willem-Alexander telah meminta maaf atas tindakan "kekerasan berlebihan" yang dilakukan selama periode penjajahan Belanda. Permintaan maaf ini merupakan langkah penting dalam mengakui dan menghadapi sejarah yang tak terbantahkan.

Namun, permintaan maaf yang baru-baru ini disampaikan oleh Raja Willem Alexander tidak hanya mewakili dirinya sendiri, tetapi juga negara Belanda secara keseluruhan.

Pada bulan Desember, Perdana Menteri Mark Rutte juga mengakui tanggung jawab negaranya dalam perdagangan budak Atlantik yang memberikan keuntungan bagi Belanda. Dalam momen tersebut, Rutte juga memohon maaf.

Baca Juga: Timur Tengah mengutuk pembakaran Al Quran di Swedia oleh pengungsi Irak

Meskipun pengakuan telah dibuat dan permintaan maaf yang tulus disampaikan, pemerintah Belanda menolak untuk membayar ganti rugi seperti yang direkomendasikan oleh panel penasihat pada tahun 2021. Keputusan ini mungkin menjadi sumber kontroversi, tetapi pemerintah mengklaim bahwa pengungkapan dan permohonan maaf itu sendiri merupakan langkah penting dalam proses rekonsiliasi.

Sebuah studi yang diterbitkan pada bulan lalu atas permintaan pemerintah Belanda menemukan bahwa Belanda meraup keuntungan sekitar 600 juta dolar AS (Rp9 triliun) dari penjajahan yang terjadi antara tahun 1675 hingga 1770.

Mayoritas keuntungan ini berasal dari perdagangan rempah-rempah Perusahaan Hindia Timur Belanda, yang secara tegas telah mengukuhkan posisi Belanda sebagai salah satu kekuatan kolonial terbesar pada saat itu.

Untuk mengungkap kebenaran lebih lanjut dan menggali peran Keluarga Kerajaan Belanda dalam sejarah kolonial, Royal House telah menginstruksikan penyelidikan independen yang diharapkan akan memberikan hasilnya pada tahun 2025.

Langkah ini menunjukkan tekad yang kuat untuk menjalani proses rekonsiliasi dan memahami peran yang dimainkan oleh pihak kerajaan dalam kejadian yang terjadi di masa lalu.***

Editor: Sri Ulfanita

Sumber: Reuters


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah