Review film The Architecture of Love: New York dan kompleksitas cinta yang rumit

- 3 Mei 2024, 20:48 WIB
The Architecture of Love
The Architecture of Love /Instagram/@filmtaol

WartaBulukumba.Com - Di kota yang tak pernah terlelap itu, Raia bertemu dengan River Jusuf, seorang arsitek enigmatik yang bersedia membagikan kisah tentang monumen-monumen megah di New York, namun merahasiakan narasi hidupnya sendiri.

Pertemuan mereka membentuk perjalanan penyembuhan, yang meskipun penuh risiko, berpotensi melukai mereka lagi.

Nicholas Saputra dan Putri Marino, yang masing-masing berperan sebagai River dan Raia, berhasil meniupkan nyawa ke dalam karakter dengan emosi yang kompleks.

Baca Juga: Review film 'Badarawuhi di Desa Penari': Kekuatan mistisisme di hutan Jawa

Dalam sorotan neon yang menyilaukan, menari-nari di setiap tikungan jalanan New York, Raia Risjad melangkahkan kaki dengan lesu di sepanjang Fifth Avenue. Matanya yang sembab memancarkan duka yang sudah lama membusuk dalam relung jiwanya.

Secara bertahap, fragmen kenangan tentang Alam, suaminya yang telah mengkhianati cinta mereka melalui perselingkuhan, terus membayangi.

Teddy Soeriaatmadja, sutradara yang telah menyentuh hati banyak melalui film-film seperti "Lovely Man" dan "Something in the Way," kembali mengguncang dunia perfilman Indonesia dengan "The Architecture of Love."

Jelajahi lebih menukik dalam review film The Architecture of Love berikut ini.

Baca Juga: Menuai kontroversi dan dilarang MUI, ini sinopsis film 'Kiblat'

Diadaptasi dari novel karya Ika Natassa

Diawali dengan kebuntuan kreatif yang menghimpit seorang novelis, karya ini diadaptasi dari novel populer karya Ika Natassa yang debut di bioskop Indonesia menjelang akhir April 2024.

Raia, penulis terkemuka dengan serangkaian novel bestseller, terjerat dalam krisis kreatif yang memilukan pasca perceraian yang mengoyak hatinya.

Trauma emosional bukan hanya meninggalkan dia patah hati, tetapi juga terjerat dalam labirin ketakutan akan cinta. New York, dengan segala keriuhan dan kecantikannya, menjadi tempat pelariannya dalam mencari inspirasi dan melupakan luka.

 

Jerome Kurnia, Refal Hady, dan Jihane Almira ikut meramaikan dengan penampilan yang memukau.

Baca Juga: Review dan sinopsis Kung Fu Panda 4: Petualangan Po di arena yang sama sekali baru

Kompleksitas cinta yang rumit

"The Architecture of Love" menawarkan lebih dari sekadar kisah cinta. Film ini mengupas tentang bagaimana kehilangan dan duka dapat mengubah hidup kita, dan bagaimana cinta dapat muncul dari tempat dan waktu yang tak terduga. Setiap dialog dan adegan dirancang untuk bergema dengan pengalaman cinta sehari-hari, memungkinkan penonton untuk merasakan koneksi dan terseret dalam narasi.

Ketika Raia dan River menjelajahi sudut-sudut New York, kamera menangkap mereka dengan lembut, mengungkapkan keindahan urban yang sering terabaikan. Adegan demi adegan dirancang untuk tidak hanya mengungkap kisah cinta tetapi juga sebagai refleksi atas diri sendiri dan interaksi interpersonal.

Dari sudut pandang produksi, "The Architecture of Love" mempersembahkan estetika visual yang menggabungkan kehangatan dan keindahan arsitektur kota New York. Penggunaan musik yang emosional dan sinematografi yang menawan menambah kedalaman narasi, membawa penonton seolah-olah berjalan bersama Raia dan River, merasakan setiap suka dan duka mereka.

Ulasan film ini umumnya positif, dengan banyak kritikus mengapresiasi bagaimana film ini membawa angin segar dalam genre romantis yang sering kali dianggap klise. Meski beberapa plot twist mungkin terduga, penyajiannya yang inovatif membuat "The Architecture of Love" tetap menarik untuk ditonton.

Secara keseluruhan, Teddy Soeriaatmadja telah menciptakan sebuah karya yang tidak hanya menghibur tetapi juga menyentuh, sebuah film yang memperlihatkan bahwa cinta, dalam segala kompleksitasnya, tetap merupakan salah satu kekuatan paling murni dan paling kuat di dunia.***

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah