Kemudian melanjutkan dengan kalimat, “Caramu berbeda... Tak seperti aku pahami, kau tuntun aku keras untuk mengenal si lembut. Kau bimbing aku lantang menantang maut dan pantang berlutut, kau tinggalkanku sendiri agar manja tak lama terpaut, kau tuntun aku kuat hingga lemah pun takut.”
“Halusmu... Candamu... Tegasmu... Semua demi aku.
Hangatmu... Suaramu... Tegarmu... Segala demi aku
mungkin itu yang tergambar dalam maharmu yang kau
minta kepadaku waktu itu KAIN KAFAN DAN PEDANG DAN CINCIN MAHARMU YANG KAU DONASIKAN UNTUK PALESTINA.”
“Kutitipkan rinduku lewat jembatan Fatihah di setiap aku mengingatmu, mungkin ini satu-satunya jembatan yang bisa dilewati untuk menyampaikan rinduku padamu, semoga kelak di pertemukan di alam sana, suatu alam yang dijanjikan Allah yaitu surga.”
“Begitulah Maman belum lagi lelah mencintai,” kata Bung Yudhi, seraya mengutip kalimat Maman Rumaday berikutnya dalam bukunya;
“Mencintai adalah menerima apa adanya orang yang kita cintai, lihat dia sebagai anugerah dan berkah bagi kita.”(Bersambung).***