Ya Allah kalau diri ini bukan tajalli-Mu
Takkan bertahan aku di jalan sunyi
Bersabar hingga Yaumi Dini
2019.
99
(Kumpulan puisi 99 Untuk Tuhanku, 1983)
Tuhanku
inilah kata-kataku
bahasa paling wadak
dari gairah cintaku
untuk ketemu.
Tuhanku
betapa masih jauh
jarak antara kita
ketika masih kubutuhkan
ungkapan-ungkapan.
Tuhanku
namun betapa pun
inilah sebagian
dari ilmu
yang Kau ajarkan.
Tuhanku
dari hari ke hari
terus kunanti
saat merdeka
dari tubuh ruang waktu ini
di mana asma-Mu
tak perlu kupanggil lagi
di mana senyum-Mu
langsung mengaliri
rohku ini.
Hati Telanjang Kepada Tuhan
Setelah dua puluh satu tahun putus asa
Sesudah hampir meledak dada dan pecah kepala
Tersisa hati telanjang kepada-Nya
Setelah dua puluh satu tahun salah sangka
Sesudah kebusukan demi kebusukan
Tak kunjung sampai ke puncaknya
Tergeletak jiwa tak berdaya di hadapan-Nya
Berdengung-dengung tanpa henti di kepalaku
Siapa yang menghaturkan “Doa Memohon Kutukan” itu
Selain hamba bodoh penganiaya diri sendiri
Yang Tuhan mengasihaninya
Yang para Malaikat memprihatininya
Yang Para Nabi dan Rasul menangisinya
Dan Iblis Setan mentertawakannya
Hambalah itu yang lalim kepada diri hamba sendiri
Hamba si hina dina
Hamba kafir yang takabur
Fakir yang putus asa
Menindihkan gunung ke punggungnya
Menimpakan alam semesta ke pundaknya
Membesar-besarkan diri dengan tanggungan yang tak sanggung disangganya
Berdengung-dengung memecah kepalaku
Kibriya’ taruh di atas kepala seluruh berat beban dunia dan alam semesta
Keangkuhan mempertahankan tegaknya pohon-pohon-Mu di dunia
Wahai Tuhan Mutakabbir yang takabbur adalah jubah-Mu
Betapa sederhana yang Engkau tunggu dari hamba-Mu
Padahal di dalam nurani dan akalku, nasehat-Mu amat sederhana
Bertindaklah semampumu saja. Tak usah berjuang membela-Ku
Karena engkaulah yang membutuhkan keselamatan di depan kuasa-Ku