Asal muasal Pinisi Bulukumba dalam cerita rakyat 'Sawerigading'

4 Januari 2023, 09:00 WIB
Perahu Pinisi Bulukumba. /PRFMNews

WartaBulukumba - Pinisi telah sedemikian jauh melayari samudra sejarah dan budaya dunia.

Bahkan Pinisi sudah jauh beranjak dari pelabuhannya yang paling awal, sebuah negeri yang dijuluki Bumi Panritalopi yaitu Bulukumba di Sulawesi Selatan.

Pada Kamis 7 Desember 2017, Pinisi Indonesia resmi menjadi warisan budaya dunia UNESCO dan ditetapkan di Paris, Perancis.

Baca Juga: Pinisi bakal 'berlayar' di lantai atas Kantor Satu Atap Pemkab Bulukumba

UNESCO memutuskan bahwa seni pembuatan kapal Pinisi dari Sulawesi Selatan terpilih sebagai Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural of Humanity).

Bagaimanakah legenda perahu Pinisi di jagat folklore? Di Sulawesi Selatan, Pinisi selalu ditautkan dengan sebuah cerita rakyat yang memuat kisah Sawerigading.

Berikut cerita rakyat yang turun temurun dituturkan dalam bentuk lisan maupun dimodifikasi dalam berbagai bentuk karya sastra teks seperti novel dan cerpen.

Baca Juga: Pengrajin dan pengusaha di Bulukumba saweran untuk pembuatan Kapal Pinisi di Kantor Satu Atap

Sawerigading

Sawerigading, putra Mahkota kerajaan Luwu di pesisir Sulawesi Selatan baru saja pulang. Sang Pangeran yang gagah perkasa ini baru pulang melanglang buana.

Di kampung halamannya, ia justru jatuh hati pada saudara kembarnya sendiri, Watentri Abeng yang jelita.

Tentu saja Sang Puteri menolak cinta terlarang ini. Raja dan Permaisuri pun murka. Itu tak boleh terjadi. Niat Sawerigading hanya akan mendatangkan petaka bagi bumi Luwu.

Baca Juga: Pinisi, kriya logam dan seniman muda Bulukumba ini 'melayari' pameran tunggal di Joning Art Space Yogyakarta

Oleh karena itu, Sawerigading harus dilaknat. Tetapi, meski menolak cinta terlarang Sawerigading, Watentri Abeng ikut berduka. Walau bagaimana pun, Sawerigading adalah tetap saudara kembarnya.

Untuk menghibur Sawerigading, Watenri menyuruh saudara kembarnya itu pergi ke negeri Tiongkok.

Watentri berkata, “Di negeri Tiongkok ada seorang puteri yang wajahnya sangat mirip dengan wajahku. Puteri We Cudai namanya.”

Baca Juga: Selama 2,5 jam Jokowi naik Perahu Pinisi Bulukumba ke Pulau Rinca

Sawerigading menerima usulan adiknya itu. Celakanya, Sawerigading tidak dapat berlayar karena kapalnya sudah tua dan rapuh. Untuk membuat sebuah kapal yang baru dan tangguh, ditunjukkanlah kepadanya pohon welengrenge, sebatang pohon milik Dewata di Mangkutu.

Pohon bertuah itu coba ditebang. Tetapi, sekuat daya diupayakan, pohon itu tidak bisa tumbang.

Atas saran Wetenri Abeng, diadakanlah upacara besar-besaraan, dipimpin Iangsung oleh nenek Sawerigading, seorang sakti mandraguna.

Baca Juga: Muhammad Arief Saenong dan mimpi tentang museum Pinisi di Bulukumba

Namun, tatkala pohon bertuah itu rubuh, pohon welengrenge langsung masuk ke perut bumi membawa serta nenek Sawerigading.

Anehnya, sesat kemudian muncul sebuah parahu, bagai muncul dari perut bumi, megah dan indah. Maka berlayarlah Sawerigading denga perahu ajaib itu menuju negeri Tiongkok.

Sebelum Sawerigading berlayar, sempat dia mengucapkan sumpah bahwa dia tidak akan pulang ke tanah Luwu, kecuali bila tulangnya dibawa tikus.

Baca Juga: Harga satu buah perahu Pinisi Bulukumba bisa capai Rp15 miliar

Singkat cerita, Sawerigading pun berhasil mempersunting Puteri We Cudai dari Tiongkok . Namun setelah sekian lamanya dia tinggal di negeri Tiongkok timbul juga rasa rindu ke tanah kelahirannya. Suatu ketika akhirnya ia memutuskan  berlayar kembali ke tanah Luwu.

Rupanya dia lupa akan sumpahnya, dan dia kembali berlayar pulang dengan perahu Walengrenge dulu. Dewata menjadi murka, menjelang perahu mendekat ke pantai Luwu, tiba-tiba perahunya pecah menjadi beberapa bagian.

Pecahan perahunya terdampar di tiga tempat di Bulukumba, yaitu seluruh papan lambung perahu terdampar di Ara. Tali temali dan layarnya terdampar di Bira.

Sedangkan lunas yang ada pada haluan sampai buritan terhempas di Lemo-lemo.

Oleh masyarakat setempat  bagian-bagian perahu itu dirakit kembali menjadi sebuah perahu yang megah dan kelak perahu itu dinamakan perahu Pinisi atau Penes.

Dari cerita rakyat itulah muncul ungkapan "Panre patangan’na Bira, Paingkolo tu Arayya, Pabingkung tu Lemo-lemoa" yang artinya,”Ahli melihat dari Bira, ahli memakai singkolo (alat untuk merapatkan papan) dari Desa Ara, dan ahli menghaluskan dari Lemo-Lemo.

Ungkapan ini berkaitan dengan kemampuan membuat perahu yang akhirnya diwariskan turun-temurun. Para pengguna perahu pinisi yakin, bila para ahli dari ketiga daerah ini terlibat dalam pembuatan perahu, dapat dipastikan hasilnya akan sangat prima.***

Editor: Nurfathana S

Tags

Terkini

Terpopuler