Innalillah, penulis dan budayawan Bulukumba Muhammad Arief Saenong tutup usia

- 4 November 2022, 21:31 WIB
Muhammad Arief Saenong, budayawan dan penulis Bulukumba meninggal dunia pada Jumat, 4 November 2022.
Muhammad Arief Saenong, budayawan dan penulis Bulukumba meninggal dunia pada Jumat, 4 November 2022. /Omma Hakim

WartaBulukumba - Salah satu putra terbaik yang dimiliki Bulukumba ini baru saja tutup usia.

Budayawan, penulis dan pendidik, Muhammad Arief Saenong meninggal dunia pada Jumat malam, 4 November 2022 pada pukul 21,00 WITA.

Ungkapan bela sungkawa mengalir di berbaga platform media sosial terutama dari warga Bulukumba.

Salah satunya adalah unggahan Drs Muhannis, salah satu budayawan dan sastrawan Bulukumba.

Baca Juga: Muhammad Arief Saenong dan mimpi tentang museum Pinisi di Bulukumba

"Innalilahi wa innailaihi rojiun. Pamanda ARIEF SAENONG penulis buku buku Pinisi meninggal dunia pukul 21.10.WITA malam ini. Rumah Duka di Elaela Bulukumba," tulis Muhannis di akun media sosialnya, seperti dikutip WartaBulukumba.com pada Jumat malam.

Keterangan dari anak almarhum, Muhammad Arief Saenong selalu mengalami rendah HB dan selalu menjalani transfusi darah.

"Selama di rumah sakit 19 kantong darah masuk di tubuhnya. Dari bulan Mei selalu masuk rumah sakit," ungkap anak almarhum.

Rencananya, jenazah dikebumikan di Desa Ara tempat kelahiran almarhum pada Sabtu siang besok.

Baca Juga: Obituari Andi Sukri Sappewali, Andi Soraya Widiyasari ungkap sederet fakta menarik sosok 'Puang Ompo'

Muhammad Arief Saenong meninggalkan seorang istri bernama Radjulia bersama 4 anak dan 8 orang cucu.

Pencipta mars Pondok Pesantren Babulkhaer ini semasa hidupnya paling getol berbicara tentang Pinisi.

Obsesi, pengetahuan, pemikiran dan kekhawatirannya terhadap kepunahan Pinisi yang asli dimuntahkannya dalam bentuk beberapa buku.

Selama puluhan tahun di dunia literasi, ia telah mengabdikan pengetahuannya untuk berbagi dengan kita terkait Pinisi.

Baca Juga: In memoriam Andi Sukri Sappewali, TSY: 'Beliau tidak gentar untuk mengabdikan dirinya di Bulukumba'

Muhammad Arief Saenong adalah juga seorang pensiunan guru. Lahir di tengah komunitas Panritalopi di Ara, Bontobahari  Kabupaten Bulukumba, 14 Juni 1942.

Menyelesaikan SR (SD) di tanah kelahirannya; SMP di Bulukumba, SGA di Pare-Pare (1963); PGSLP Seni Rupa di Makassar (1969) dan STKIP Muhammadiyah di Bulukumba (1983).

Sejak 1 Oktober 1963 menjadi guru SD di Tanah Beru Bulukumba, tetapi dua tahun kemudian ditinggalkannya untuk keluar provinsi dengan profesi sebagai pembuat perahu Pinisi.

Baca Juga: Perjalanan karir mantan Bupati Bulukumba AM Sukri Sappewali yang tutup usia di hari ulang tahun ke 66

Setelah menyelesaikan PGSLP di Makassar, ia mengajar di SPG Negeri Bulukumba (1970) dan juga mengajar pada beberapa SLTA Negeri maupun Swasta di Bulukumba (1980-1997). Sejak Agustus 1991 menjadi Penilik Kebudayaan sampai pensiun pada 1 Nopember 2001.

Pada 1992 pemerhati budaya khususnya pinisi ini mendapat kepercayaan menjadi narasumber dan memandu pembuatan film dokumenter “Adat Pembuatan Pinisi” oleh Pustekkom Depdikbud.

Pada 2001, bukunya yang berjudul “Pinisi Perahu Khas Sulawesi Selatan” diterbitkan oleh Proyek Pembinaan Sejarah Purbakala dan Permuseuman Sulawesi Selatan.

Pada November 2007, memenangkan sayembara penulisan naskah buku nonfiksi yang diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Depdiknas dengan judul “Pinisi Perahu Tradisional Bugis Makassar”.

Sebulan kemudian, Desember 2007 ia diganjar penghargaan “Celebes Award” dari Gubernur Sulawesi Selatan di Bidang Kebudayaan. Tahun 2010 ia menulis buku Komunitas Ammatowa dan Pasang Ri Kajang.

Buku karyanya pada tahun 2013, “Pinisi: Paduan Teknologi dan Budaya” merangkum simpulan awal beberapa pakar bahwa buku tersebut merupakan referensi terlengkap tentang Pinisi.

Meskipun pendapat dari beberapa ahli mengungkapkan bahwa buku tersebut masih jauh untuk disebut sebagai referensi ideal tentang Pinisi, namun buku itu telah berhasil merefresh wawasan kita terutama kaitannya dengan mitos pembagian pengetahuan teknik pembuatan perahu. Buku itu juga mencerminkan asal penulisnya, Ara yang merupakan asal pembuat perahu.

Dalam mitos dikemukakan, bahwa ada tiga kampung yang masing-masing memiliki keterampilan: orang Ara lihai membuat bagian dasar perahu, orang Lemo-lemo trampil menghaluskan, dan orang Bira melayarkannya.

“Buku itu saya tulis sebagai bentuk kecintaan saya terhadap perahu pinisi. Pinisi sekarang sudah punah, yang ada sekarang ini disebut perahu layar motor. Begitu cintanya saya kepada pinisi, saya pernah meninggalkan profesi guru agar bisa menjadi tukang perahu,” ungkap Muhammad Arief Saenong dalam salah satu wawancara

Budayawan Bulukumba yang pernah menulis makalah dengan judul “Pinisi Riwayatmu Dulu, Terabaikan Sekarang” ini  dalam berbagai kesempatan yang dimilikinya tetap berupaya untuk banyak menjelaskan kepada kita seputar sejarah pinisi sebagai salah satu warisan budaya Bulukumba.

Mulai dari asal usul atau legendanya, proses penciptaan perahu Pinisi, tradisi dan budayanya, sampai kepada kepunahan perahu Pinisi yang diakibatkan oleh motorisasi yang digunakan dalam perahu.

“Saya pernah menyarankan kepada Pemda Bulukumba untuk menganggarkan pembuatan perahu Pinisi dalam bentuk aslinya, sehingga dapat menjadi aset budaya yang sangat berharga” ungkap Arif Saenong.

Dalam sebuah wawancara, Muhammad Arief Saenong mengatakan, perahu pinisi klasik generasi terakhir yang dibangun di Tanah Beru, dibuat pada 1974 milik H. Abdul Wahab, seorang pengusaha perahu dari Bira.

Ada dua buah pinisi yang dibangun pada waktu itu masing-masing berkapasitas 200 GT. Sedangkan pinisi (asli) generasi terakhir yang dibangun di Ara dibuat pada 1974 milik H. Emba. Pinisi yang berkapasitas 200 GT itu diluncurkan pada Juni 1974.***

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah