Lima puisi Cak Nun, 'Jawaban Kepada Negeri' hingga 'Hati Telanjang Kepada Tuhan'

- 14 April 2022, 04:00 WIB
Cak Nun
Cak Nun /Tangkapan Layar Youtube/CakNun.com

 

WartaBulukumba - Frasa-frasa ini melingkar dan mengalir antara Cak Nun dan puisi, puisi dan kita, kita dan Ramadhan.

Sebagaimana ditakik WartaBulukumba.com dari laman CakNun.com, pada sepenggal paragraf Mukadimah Kenduri Cinta edisi April 2022, Cak Nun jauh-jauh hari sudah berpesan kepada kita bahwa agar kita lebih waspada dan titen.

Ada ayat-ayat Tuhan yang difirmankan dan ada ayat-ayat Tuhan yang tidak difirmankan. Lebih utamanya, kita harus mampu membaca ayat-ayat Tuhan yang tidak difirmankan.

Baca Juga: Puisi terakhir WS Rendra sesaat sebelum meninggal dunia

Dalam satu hari ada 24 jam, ada banyak sekali peristiwa yang kita alami, bisa jadi ada ayat-ayat dari Tuhan yang tidak difirmankan yang sebenarnya adalah hidayah untuk kita.

وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al Baqoroh 216)

Pada akhirnya, modal utama kita sebagai manusia hanyalah iman. Kita percaya sepenuhnya kepada Tuhan semesta alam yang sudah menyusun naskah skenario drama kehidupan ini.

Baca Juga: Puisi Taufik Ismail 'Rasulullah Menyuruh Kita'

Tugas kita di dunia ini adalah memperjuangkan keyakinan kita, agar Tuhan bersedia menjamin apa saja yang kita butuhkan.

Berikut lima puisi Cak Nun yang dirogoh WartaBulukumba.com dari gudang puisi di laman CakNun.com yang setidaknya bisa men-sublim rasa di bulan suci ini.

Jawaban Kepada Negeri

Kalau ditanya tentang keadaan Negeriku
Tak kuperlukan pemikiran atau imajinasi
Juga tidak penafsiran atau analisis
Sebab manusia sudah kembali purba
Seolah-olah baru minggu lalu Tuhan menciptakannya

11 Agustus 2019 

Pestapora

Maha Kekasih aku minta limpahan rizki
Untuk membiayai pestapora cintaku
Bersama jutaan anak cucuku kepada-Mu

Di tengah hujan kebusukan dunia
Badai kekerdilan dan kekonyolan
Yang memenuhi permukaan bumi

Kami berlarian di sela-sela air hujan
Kami menari-nari di kebun-kebun rahasia
Di antara ruang dan waktu

Takkan ada sedebu rahmat-Mu
Yang kami biarkan membeku
Tanpa kami muaikan dengan rasa syukur

Sebab tak satu partikel alam semesta
Ciptaan dahsyat ini yang bukan milikMu
Semua zarrah dan setiap debu dari-Mu

Kutanam di seantero ruang dan waktu
Bunga kebun dan dedaunan hutan rimba-Mu
Kukibarkan di seantero jangkauan semestaku

2019.

Yaumi Dini

Ya Allah kalau tak karena
Kau pinjamkan pundak-Mu
Takkan kuat aku memanggul dunia

Ya Allah kalau tak karena
Kau pinjamkan tangan-Mu
Takkan sanggup aku menggendong manusia

Ya Allah kalau yang di kepalaku ini bukan akal-Mu
Sudah lama pecah terkeping-keping
Sekadar untuk memahami manusia

Ya Allah kalau yang di dadaku ini bukan cinta-Mu
Sudah jebol ia sejak berabad-abad yang lalu
Oleh lautan airmataku yang bercampur samudera darah busuk ummat manusia

Ya Allah kalau tidak penuh diriku oleh Rahman Rahim-Mu
Sudah kemarin-kemarin kupenggal leher para penguasa
Kulempar mereka semua dan kupenjarakan dalam kehampaan

Ya Allah kalau bukan Engkau
Dan Muhammad tuan rumah jiwaku
Kulepas borgol tanganku
Serta kubatalkan suci puasaku

Ya Allah kalau diri ini bukan tajalli-Mu
Takkan bertahan aku di jalan sunyi
Bersabar hingga Yaumi Dini

2019.

99

(Kumpulan puisi 99 Untuk Tuhanku, 1983)

Tuhanku
inilah kata-kataku
bahasa paling wadak
dari gairah cintaku
untuk ketemu.
Tuhanku
betapa masih jauh
jarak antara kita
ketika masih kubutuhkan
ungkapan-ungkapan.
Tuhanku
namun betapa pun
inilah sebagian
dari ilmu
yang Kau ajarkan.
Tuhanku
dari hari ke hari
terus kunanti
saat merdeka
dari tubuh ruang waktu ini
di mana asma-Mu
tak perlu kupanggil lagi
di mana senyum-Mu
langsung mengaliri
rohku ini.

Hati Telanjang Kepada Tuhan

Setelah dua puluh satu tahun putus asa
Sesudah hampir meledak dada dan pecah kepala
Tersisa hati telanjang kepada-Nya
Setelah dua puluh satu tahun salah sangka
Sesudah kebusukan demi kebusukan
Tak kunjung sampai ke puncaknya
Tergeletak jiwa tak berdaya di hadapan-Nya

Berdengung-dengung tanpa henti di kepalaku
Siapa yang menghaturkan “Doa Memohon Kutukan” itu
Selain hamba bodoh penganiaya diri sendiri
Yang Tuhan mengasihaninya
Yang para Malaikat memprihatininya
Yang Para Nabi dan Rasul menangisinya
Dan Iblis Setan mentertawakannya

Hambalah itu yang lalim kepada diri hamba sendiri
Hamba si hina dina
Hamba kafir yang takabur
Fakir yang putus asa
Menindihkan gunung ke punggungnya
Menimpakan alam semesta ke pundaknya
Membesar-besarkan diri dengan tanggungan yang tak sanggung disangganya

Berdengung-dengung memecah kepalaku
Kibriya’ taruh di atas kepala seluruh berat beban dunia dan alam semesta
Keangkuhan mempertahankan tegaknya pohon-pohon-Mu di dunia
Wahai Tuhan Mutakabbir yang takabbur adalah jubah-Mu
Betapa sederhana yang Engkau tunggu dari hamba-Mu
Padahal di dalam nurani dan akalku, nasehat-Mu amat sederhana
Bertindaklah semampumu saja. Tak usah berjuang membela-Ku
Karena engkaulah yang membutuhkan keselamatan di depan kuasa-Ku

Wahai Maha Dermawan, terimalah kesombonganku sebagai penghaturan kesetiaan
Terimalah putus asaku sebagai batas perwujudan cinta
Terimalah tangis cemas hamba, kecemasan dalam keyakinan hamba
Bahwa siapapun saja yang menggerakkan kaki dan tangannya
Untuk menumbangkan pohon-pohon-Mu, Engkau akan lumpuhkan gerakannya
Engkau giring agar mereka bertabrakan dengan patung-patung batu
Dengan berhala tahayul dan monumen materi, bangunan mereka sendiri

Wahai Maha Merdeka, Engkaulah sumber dan asal usul
Segala ilmu yang mereka namakan ‘demokrasi’ dan ‘independensi’
Di mana setiap hamba bukanlah dirinya, melainkan wujud perbuatannya
Tak ada pahala tak ada dosa selain dari perbuatannya sendiri
Tetapi apabila mereka bersekutu menutupi kemerdekaan absolut-Mu
Engkau perkecil jumlahnya, Engkau kacaukan perkumpulannya
Engkau pecah belah karena tidak adil pikirannya

Wahai Rahman cinta-Mu meluas tak terhingga
Wahai Rahim yang kasih sayang-Mu mendalam tiada tara
Sepenuh-penuhnya hak-Mu segala santunan atau kutukan
Semata-mata milik-Mu kegembiraan atau kesengsaraan
Lumpuh hatiku menyaksikan para pemakan bangkai
Yang menikmati penderitaan saudara-saudarinya sendiri
Tetapi kuyakini keadilan dan pembalasan-Mu

Engkau lumpuhkan kaki para pendusta persaudaraan
Para pemalsu wajah dan para saudagar cinta
Para penunggang keledai kesetiaan dan kuda kepatuhan
Jika Rabiah memuaikan badannya hingga memenuhi neraka
Takkan Engkau biarkan mereka memenuhi bumi, kota dan desa pasar dan jalanan, kantor, gedung-gedung, darat dan lautan
Karena dengan mudah Engkau perluas neraka-Mu

Engkau potong tangan mereka yang menghina ketulusan-Mu
Engkau robek-robek tirai dusta dan tipu daya mereka
Engkau putus-putus dan obrak-abrik tali jaringan kebohongan semesta mereka
Demikianlah hamba bertelanjang hati
Cukup sudah kesabaran-Mu atas para penyelingkuh cinta-Mu
Takkan lagi Engkau perkenankan keleluasaan
Bagi kebudayaan, politik dan peradaban yang bertakabur kepada-Mu

Engkau sesakkan nafas para pelakunya, Engkau  bikin cemas hati mereka
Engkau buntu pikiran mereka, Engkau macetkan mesin syirik lingkar katulistiwa
Engkau buka kedok kebodohan para cerdik pandai
Engkau lunglaikan dan bumerangkan setiap rumusan rekayasa
Engkau kuakkan semua yang mereka rahasiakan
Engkau hentikan setiap kereta pemerintahan manusia
Yang tidak mengantarkan para penumpangnya ke rumah ridlo-Mu

Wahai maha pencipta, maha penata, maha penghampar karya agung
Jauhkanlah kemenangan dari hamba-hamba yang tak menghamba
Yang menegakkan keunggulan dengan modal kehinaan
Wahai gelapkan gedung-gedung mereka
Runtuhkan kantor-kantor mereka
Nerakakan rumah-rumah mereka
Ambrukkan tembok-tembok mereka

Wahai demikianlah puncak karier hamba
Hamba pengemis yang berjongkok di depan gerbang-Mu
Hamba persembahkan ketidakberdayaan dalam perjuangan
Hamba haturkan keterpurukan dalam peperangan
Hamba pasrahkan tak terusirnya putus asa dalam iman
Hamba tangiskan ketidaksabaran dalam penantian
Sisa kekhalifahan hamba tinggal hati yang telanjang

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
Yogya 5 Pebruari 2016.

Begitulah, Cak Nun dengan puisi, puisi dengan kita, apa rasa kita?

 

 

Editor: Alfian Nawawi

Sumber: CakNun.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah