Network
WartaBulukumba.Com - Kabut pagi masih membalut lembut Desa Orogading, seperti selimut yang tak rela terlepas dari tanah Bulukumba. Di antara rimbun hutan aren, tampak batang-batang tinggi menjulang, berbaris seperti pasukan yang gagah mengawal kehidupan.
Di bawah naungan daun-daun lebar yang melambai pelan tertiup angin, Ato berdiri tegap. Dia adalah seorang penyadap aren, dan pohon-pohon ini adalah sahabat setianya, saksi bisu atas perjuangan hidupnya.
Setiap pagi, saat matahari masih malu-malu menampakkan diri di cakrawala, Ato dan istrinya, Marfiani, telah memulai ritual mereka—ritual yang telah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan mereka selama delapan tahun terakhir.
Baca Juga: KSU Dana Mitra Tani di Bulukumba: Meretas jalan panjang menuju ekonomi berkelanjutan
Dengan tangan yang kokoh, Ato menggenggam golok, perlahan mengiris bunga aren yang menggantung tinggi. Setiap tetes nira yang jatuh dari luka sayatan itu adalah tetes-tetes harapan, cairan kehidupan yang mengalirkan rezeki bagi keluarganya.
Marfiani, dengan senyum yang tak pernah pudar, menanti di bawah, siap mengumpulkan air nira yang tertampung dalam bambu-bambu kecil.
Baginya, setiap tetes nira adalah peluh yang berubah menjadi manisnya gula merah, setiap proses adalah doa yang terwujud dalam kehangatan dapur dan senyum anak-anak mereka. Mereka tahu, di bawah bayang-bayang pohon aren yang menjulang, ada kehidupan yang mereka rawat dengan sepenuh hati—sebuah warisan alam yang mereka pelihara dengan penuh kesyukuran.
Baca Juga: Seruas cerita bambu petung dan kebun aren di Bulukumba: Monitoring Tim Dana Mitra Tani di tiga desa
Pengabdian dalam Setiap Tetes Nira
